RSS

UTS

SOAL:

Buat analisis tentang permasalahan hukum adat yang dialami masyarakat adat yang ada disekitar anda dengan konsep hukum adat yang anda pahami dan disinkronisasi dengan hukum positif.

Jawaban:

Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum positif yang ada di Indonesia saat ini. Selain regulasi lainnya yang ditinggalkan oleh Belanda setelah menjajah. Setiap daerah di Indonesia memiliki hukum adat sendiri. Setiap daerah pula memiliki identitas tersendiri yang mewakili daerahnya. Namun perbedaan tersebut tidak menjadi pemecah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu hukum adat yang masih eksis sampai saat ini dan banyak dikaji lebih mendalam adalah hukum adat di Bali.

Hukum Adat yang dipegang teguh oleh masyarakat bali ini mencakup semua aspek kehidupan manusia, meliputi sumber daya alam, pernikahan,dll. Masyarakat adat di Bali di dalam kehidupannya menghendaki selalu adanya perimbangan antara kehidupan lahir dan bathin (‘skala dan niskala’). Konsep pikir demikian, tidak dapat dilepaskan dengan konsep kefilsafatan ‘Tri Hita Karana’ yang mendasari kelangsungan kehidupannya, dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama Hindu.

Konsekuensi pemikiran ini berakibat bahwa segala perbuatan yang mengakibatkan ketidakseimbangan harus dihindarkan atau bagi pembuatnya dikenakan kewajiban untuk mengembalikan keseimbangan tersebut. Tata cara pengembalian keseimbangan tersebut, harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam awig-awig desa adat, tanpa meninggalkan falsafah keagamaan. Konsep pikir yang telah melembaga dengan kokohnya dalam kehidupan masyarakat, berakibat adanya suatu keyakinan bahwa terjadinya pelanggaran norma adat yang belum terselesaikan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku, akan dapat menimbulkan gangguan yang menyebabkan menderitanya ‘krama adat’.

Salah satu pelanggaran dalam hukum adat Bali adalah pencurian, pencurian yang belakangan ini marak di Bali adalah pencurian benda sakral (pratima).  Hal demikian akan memerlukan suatu langkah-langkah pemulihan, dengan membebankan suatu kewajiban bagi pelanggarnya dalam bentuk penyelenggaraan ritual-ritual tertentu untuk mengembalikan keadaan seperti sediakala. Konsekuensi dari konsep pikir demikian, adalah apabila pelaku bukan warga setempat yang berdasarkan kewenangan desa adat dapat menjatuhkan sanksi, maka kewajiban tersebut akan bergeser dalam artian warga desa adat yang melakukan sendiri upaya pemulihan tersebut.

Tingginya frekuensi tindak pidana pencurian benda-benda sakral di satu sisi tidaklah dapat dilepaskan dengan keunikan serta nilai seni benda sakral sehingga menarik minat tamu manca negara untuk mengkoleksinya. Di sisi lain, bagi pelaku pencurian benda-benda sakral, mempunyai nilai ekonomis tinggi. Demikian juga dalam melakukan pencurian, pelaku relatif dengan mudah melakukannya karena umumnya benda-benda sakral disimpan di pura-pura atau tempat suci lain yang umumnya berlokasi agak jauh dari pemukiman penduduk. Perbuatan ini oleh masyarakat adat di Bali, dianggap sebagai perbuatan yang berakibat tercemarnya (‘leteh’), baik terhadap tempat kejadian maupun benda tersebut. Perbuatan semacam ini dianggap sebagai

suatu pelecehan terhadap kehidupan beragama umat Hindu, karena benda-benda yang disucikan tersebut (umumnya dalam bentuk ‘pretima’) merupakan sarana dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang oleh umat Hindu diyakini mempunyai kekuatan ghaib.

Pada umumnya masyarakat adat di Bali memandang pencurian benda-benda sakral merupakan pelanggaran berat. Di mana sanksinya selain di hukum dengan hukuman badan, masyarakat juga menginginkan pelakunya dibebani membayar seluruh biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk kembali menyucikan pratima tersebut. Bila pelakunya berasal dari satu desa, maka akan dijatuhi hukuman kasepekang (diberhentikan dan dikucilkan sebagai warga desa pakraman) serta dilarang sembahyang ke pura.

Sedangkan dalam hukum Positif Indonesia Pencurian ini diatur dalam pasal 362 KUHP yakni “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Dalam banyak kasus pencurian benda sakral (pratima) Tersangka dikenakan pasal 362 dan pasal 363 KUHP, dibawah ini contoh kasus pencurian benda sakral atau benda yang disucikan

Kasus Posisi : Tersangka I Made Rateng dan I Wayan Serinu, secara berturut turut, pada tanggal 16, 17 dan 18 Nopember 1986 bertempat di Pura

Puseh Desa Adat Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, pada malam hari dengan cara membongkar beberapa“pelinggih” mengambil barang-barang berupa uang kepeng“pependeman” yang ditanam di “pelinggih-pelinggih” Pura Puseh. Akibat perbuatan tertuduh Desa Adat Manukaya menderita kerugian

sebesar Rp. 7.523.240,- dengan rincian : Rp.7.000.000,- untuk biaya upacara, dan Rp.523.240,- untuk membuat kembali pependeman.

Tersangka dapat dikenakan ketentuan dalam Pasal 362 KUHP, Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5 KUHP, sebab unsur-unsur yang termuat dalam ketentuan Pasal 362 KUHP, Pasal 363 ayat (1) ke 4 dan ke 5 KUHP, sesuai dengan kronologi kasus di atas, unsur- unsur tersebut diantaranya :

Pasal 362 KUHP :

1) mengambil;

2) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; dan

3) dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

Pasal 363 ayat (1) ke 4 :

Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.

Pasal 363 ayat (1) ke 5 : untuk masuk ke tempat kelakukan kejahatan untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau memakai

jabatan palsu.

Selain itu para Tersangka terbukti melakukan lebih dari satu tindak pidana sejenis secara berturut-turut yakni pada tanggal 16, 17 dan 18 Nopember 1986 bertempat di Pura Puseh Desa Adat Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar yang dapa diancam dengan pidana yang sejenis dengan memperhatikan ketentuan Pasal 65 KUHP (concursus realis) dengan dijatuhi pidana dengan maksimum hukuman yang tertinggi ditentukan untuk perbuatan terberat yang dilakukan, dan tidak diperbolehkan melebihi jumlah maksimum kejahatan terberat ditambah dengan sepertiganya.

Selain itu Tersangka dapat dikenakan pemberatan pidana dalam putusan pengadilan nantinya jika Tersangka terbukti bersalah, karena barang yang dicuri oleh tersangka bukan barang biasa melainkan barang yang dianggap suci oleh masyarakat adat Bali.

Selain itu para Tersangka juga dapat dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar denda atas kerugian yang disebabkan oleh para Tersangka, yang digunakan untuk melakukan “Krama adat”.

Kasus Pencurian Benda-benda suci lainnya adalah :

Kasus pencurian benda-benda suci keagamaan di Pura Dalem Sulang, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.

Kasus Posisi :

Bahwa, Tersangka (I Nyoman Londen) pada suatu hari dalam bulan Juni 1978 sekitar pukul 02.00 WIB., atau setidak-tidaknya dalam bulan Juni 1978 saat matahari terbenam hingga terbit bertempat di Pura Dalem Sulang, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang termasuk dalam wilayah adat Klungkung, dengan cara memanjat tembok pura dan merusak tiang (“tugeh piasan” = bahasa Bali), mengambil barang-barang berupa :

1 (satu) buah patung singa warna kuning.

1 (satu) buah genta (“bajra” = bahasa Bali)

1 (satu) buah tapel

2 (dua) buah tapel kecil yang keningnya dihiasi dengan permata berbentuk “brahma”, “wisnu” yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang dalam hal ini kepunyaan warga pura desa Sulang, perbuatan mana Tersangka lakukan dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum, dengan menjualnya kepada saksi I Nyoman Sardan alias Pan Damping dengan harga keseluruhan Rp.50.000,- atau setidak-tidaknya lebih dari Rp.250.

perbuatan Tersangka I Nyoman Londen sebagaimana dituduhkan jika telah terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Tersangka I Nyoman Londen bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana di atas dan dihukum pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke 3 dan ke 5, dengan memenuhi unsur-unsur dalam kedua pasal tersebut, yakni

Pasal 363 ayat (1) ke 3:

Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup

Dilakukan oleh orang yang ada disitu dengan setahunya tau bertentangan dengan kemauan orang yang berhak(punya), dalam hal ini pemilik benda-benda suci tersebut adalah masyarakat adat Pura Dalem Sulang.

Pasal 363 ayat (1) ke 5:

Untuk masuk ke tempat kelakukan kejahatan untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau memakai

jabatan palsu.

Selain itu Tersangka Dapat dikenai Pemberatan dalam Dakwaannya nanti dipersidangan, antara lain Tersangka sebagai pemeluk agama Hindu yang seharusnya mengetahui dan wajib menghormati barang-barang yang berada dalam Pura. Krama desa adat Pura Dalem Sulang, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, membebankan upacara “pecaruan desa” dengan maksud untuk mengembalikan kesucian desa adat. Dalam kasus di atas, kebetulan pelaku adalah warga masyarakat adat setempat, sehingga desa adat dengan berdasarkan otonominya dapat menjatuhkan sanksi adat.

Jika pelakunya bukanlah warga masyarakat adat setempat, sehingga berdasarkan kewenangan desa adat terhadapnya tidak dapat dijatuhi sanksi adat, sehingga warga desa adat melakukan sendiri upaya pemulihan terhadap ternodanya kesucian pura.

Dari kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian kasus-kasus delik adat lewat mekanisme proses peradilan pidana, menurut pandangan masyarakat (“krama”) desa adat di Bali, belum menyelesaikan permasalahannya secara tuntas.

Pemidanaan yang didasarkan atas ketentuan Pasal 10 KUHP bukan sarana yang dapat mengembalikan keseimbangan sebagai akibat adanya pelanggaran norma adat. Keinginan masyarakat adat untuk adanya penjatuhan sanksi adat, tidak dapat dilepaskan dengan konsep pemikiran bahwa konsep ‘penghukuman’ dalam hukum adat di Bali, berangkat dari falsafah yang berbeda dengan konsep pemidanaan dalam KUHP. Konsep penghukuman dalam hukum adat berangkat dari adanya keseimbangan atau harmoni antara dunia nyata dengan dunia ghaib sedangkan pemidanaan berangkat dari konsep pembalasan dan rehabilitasi.

 

Tinggalkan komentar

  •